
Gugatan Tanpa Alas Hak
Klungkung, insertbali.com – Kasus sengketa lahan di Banjar Adat Sental kangin, Nusa Penida, terus bergulir. Tiga krama berinisial IMS, IWWA, dan IPS, dianggap meresahkan Krama Banjar Adat Sental Kangin setelah membuat Pengadilan Negeri Semarapura menerima gugatan tanpa alas hak. Dalam gugatan tersebut ketiganya dianggap dengan dasar keserakahan malah seolah menjadi korban.
Masalah ini terkait kawasan pesisir pantai Banjar Adat Sental Kangin, Nusa Penida. Lokasi yang belakangan dilirik banyak wisatawan karena keindahannya. Kronologisnya berdasarkan hasil paruman adat, Banjar adat setempat ingin memfungsikan kawasan itu demi menunjang biaya-biaya upacara agama di Pura Toya Mumbul.
Sekaligus pula menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat Banjar Adat Sental Kangin. Dan hendak difungsikan sebagai Kawasan resto, bar dan beach club (PLOT 1), Kawasan kuliner, spa dan artshop (PLOT 2) dan terakhir kawasan jualan canang, buah dan sayur (PLOT3). Setelah dihitung, objek yang bisa bangun yaitu sepanjang 170 meter.
Berdasarkan paruman, jika dibagi perorangan dengan jumlah KK di Banjar Adat Sental Kangin berjumlah 100 KK, maka 1 KK hanya mendapat bagian 1,7 meter, sehingga bisa membangun beach club yang ideal. Lalu banjar adat pun membentuk kelompok, karena beach club yang hendak dibangun akan dibagi per kelompok.
Pada saat pembagian, ternyata kelompok dari tiga pria terdiri dari 27 orang, ternyata secara arogan menduduki lahan sepanjang 71 meter. Akibatnya, 35 orang warga belum mendapatkan lahan. Setelah dilakukan musyawarah, 35 orang ini dijadikan satu kelompok. Lalu disepakati bahwa, tanah diduduki oleh 27 orang sebanyak 71 meter dibagi dua.
Yaitu, sepanjang 40 meter untuk kelompok Para Penggugat yang terdiri dari (hanya) 27 orang, sedangkan sisanya sepanjang 31 meter diberikan kepada kelompok 35 warga. Dalam paruman inilah 27 orang tersebut, bersikeras ingin menduduki sepanjang 71 meter tersebut.
Mereka menolak keputusan, tidak menghormati putusan paruman, dan terancam sanksi adat yang bisa dikenakan, yaitu Ulung Makrame (Kasepekang alias dikeluarkan dari keanggotaan Banjar Adat Sental Kangin). Akhirnya 21 orang anggota kelompok berjumlah 27 warga itu menyadari kekeliruan mereka. “Tetapi ketiga orang ini (penggugat, red) tidak setuju dengan berkata bahwa tanah itu adalah tanah negara dan siapa pun yang menguasai fisiknya dialah pemiliknya,” ungkap Kelian Pembangunan Banjar Adat Banjar Sental Kangin I Nyoman Supaya, yang belakangan diketahui sebagai Tergugat I, di Denpasar, Minggu (29/10).
Didampingi Kelian Banjar Adat Banjar Sental Kangin Kadek Parnata selaku Tergugat 2 dan tergugat 3 yakni Penyarikan Banjar Adat Sental Kangin Gede Arianta, I Nyoman Supaya menyampaikan, kukuhnya para Penggugat inilah yang membuat semua warga merasa bahwa mereka sudah dibelenggu oleh nafsu serakahnya. Mereka ingin menguasai lebih dari seharusnya, hingga melupakan keadilan buat Krama lainnya, yang seharusnya ikut mendapatkan keadilan demi memfungsikan kawasan wewidangan banjarnya. “Karena itu, tiga orang ini dikeluarkan dari keanggotaan Banjar Adat Sental Kangin karena tidak menggubris keputusan paruman,” tambahnya.
Walaupun demikian, IMS, IWWA dan IPS, bersikeras melanjutkan pembangunan di atas lahan sepanjang 71 meter tersebut. Karena itu, Krama Banjar Adat Sental Kangin pun berusaha mencari keadilan melalui Gubernur, Polda Bali, Polres Klungkung dan DPRD Provinsi Bali.
Ternyata ketiga orang ini mengambil langkah dengan mengajukan gugatan di PN Semarapura Klungkung. Bukan menggugat Krama Banjar Adat Sental Kangin, namun menggugat hanya empat orang termasuk Pemangku Pura Segara Banjar Adat Sental Kangin juga ikut sebagai tergugat IV. “Kami empat orang diduga sama dengan mereka,” tambahnya.
Sebenarnya, tergugat itu adalah unsur pimpinan dari Banjar, bukan menggugat orang pribadi atau secara personal. Sehingga gugatan mereka seharusnya Error in Persona. Karena itu, warga menyatakan Pengadilan Negeri Semarapura sepertinya harus siap-siap menerima lonjakan gugatan dalam sehari.
Tentunya PN menerima dan meloloskan gugatan-gugatan seperti ini, tanpa memberikan pertimbangan yang cukup tentang Legal standing para Penggugat. Gugatan mereka sementara berproses di Pengadilan Negeri Semarapura dengan perkara perdata nomor: 82/Pdt.G/2023/PN Srp. Sejak tanggal 12 September 2023.
Para penggugat, yakni IMS (penggugat 1), IWWA (penggugat 2), dan IPS (penggugat 3) tetap mengajukan gugatan yang menuntut agar tanah yang “didudukinya” tetap menjadi milik mereka. Namun secara aturan, para penggugat tidak punya hak apapun atas tanah yang diduduki.
Sebab tanah itu secara de facto telah diakui sebagai tanah milik Banjar Adat Sental Kangin, yang dibuktikan dengan adanya perarem yang mengatur bahwa setiap orang yang ingin melakukan kegiatan di atas tanah tersebut, harus menjadi anggota banjar Adat Sental Kangin, atau atas seizin dari Banjar Adat karena telah terdaftar.
Para penggugat pun saat ini tidak mengantongi hak kepemilikan atas tanah tersebut, tidak memiliki Sporadik atau bukti penguasaan fisik secara tidak terputus lebih dari 20 tahun, juga tidak ada mengantongi surat sewa atau surat kontrak.
Dengan demikian, Para Penggugat sesungguhnya hanya pernah memiliki hak menggunakan yang diberikan oleh Banjar Adat Sental Kangin. Tentunya semasa masih menjadi anggota Banjar sehingga setelah dikeluarkan, dan otomatis hak untuk menggunakan tersebut pun hilang atau dihapus.
Adapun objek sengketa dalam perkara ini berupa bidang tanah tepi pantai sepanjang 71 meter, seluas kurang lebih 700 m2 (7 are) yang diduduki oleh para penggugat. Berlokasi di pesisir pantai Banjar Adat Sental Kangin, yang merupakan sebagian dari hamparan tanah seluas kurang lebih 4.600 m2 (empat ribu enam ratus meter persegi).
Sebelumnya telah disepakati oleh segenap warga Banjar Adat Sental Kangin untuk pensertifikatannya. Tentunya sebagai Tanah Pelaba Pura Toya Mumbul, Adat Sental Kangin dan prosesnya telah berjalan namun terhambat oleh ulah para penggugat.
Bahwa dalam mediasi pun terlihat sangat aneh, karena kepentingan para penggugat dalam gugatannya tidak bisa dipenuhi oleh Para Tergugat. Sebab para penggugat menuntut hal-hal yang merupakan kesepakatan hasil paruman seluruh Warga Krama Banjar Adat Sental Kangin.
Kemudian mengenai tanah obyek sengketa dan putusan Ulung Mekrama, sehingga para tergugat, yang digugat sebagai pribadi sudah tentu tidak bisa memenuhi keinginan para penggugat. Bahkan, hingga akhir persidangan nanti, diprediksi gugatan tidak dapat diterima karena tergugatnya salah sasaran.
Sementara dalam persidangan yang berlangsung, para tergugat selalu hadir, disertai dengan lebih dari seratus kepala keluarga Banjar Adat Sental Kangin yang setia mendampingi Para tergugat. Mereka mengaku terpanggil untuk berjuang bersama sama secara kompak mempertahankan.
Hal ini sekaligus menegakkan hasil paruman, menjaga dan mempertahankan wewidangan Banjar Adat Sental Kangin yang sudah dikuasai, difungsikan, serta dirawat oleh Krama Banjar secara tidak terputus dari sejak dahulu kala, bahkan dari sebelum Negara Republik Indonesia ini ada.
Memperhatikan situasi yang demikian, sembari melihat adanya cacat formal dalam gugatannya, Kuasa Hukum Para Tergugat mengaku sempat menawarkan kepada para penggugat untuk mencabut gugatannya, namun ditolak. “Artinya pihak pengadilan harus senantiasa mempersiapkan pengamanan setiap kali persidangan,” sambung kuasa hukum tergugat Nyoman Samuel Kurniawan.
Kendati demikian, dipastikan rombongan kepala keluarga Banjar Adat Sental Kangin tersebut selalu akan hadir mendampingi Para Tergugat. Nyoman Samuel Kurniawan menegaskan bahwa berbicara mengenai sporadik atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dalam Pasal 24 ayat 2.
Dijelaskan, ada dua syarat fundamental yang harus dipenuhi. Pertama, penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
Kedua, penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh masyarakat. Juga hukum adat atau desa atau kelurahan setempat maupun pihak lainnya. Hal ini jelas-jelas menggugurkan klaim dari para penggugat tersebut. “Pada dasarnya apabila ingin menguasai suatu fisik bidang tanah negara, Pemohon harus mendapatkan pembenaran dari pejabat lingkungan tanah tersebut berada,” tegas Nyoman Samuel Kurniawan.
Baik melalui kepala dusun, kepala desa, dan camat, karena aparat desa dan aparat pemerintahan tersebutlah yang mengetahui mengenai tanah tersebut. Sementara penggugat baru mulai menduduki lahan sepanjang 71 meter tersebut sejak Banjar Adat Sental Kangin mengadakan pembagian lahan pada bulan November 2022.
Dimana saat itu para Penggugat dengan tanpa malu-malu menduduki lahan seluas 71 meter sehingga menimbulkan permasalahan. Para Penggugat lupa, bahwa mereka hanya diberikan hak menggunakan oleh Banjar, bukan hak menguasai, bukan hak memiliki.
Bahwa I Putu Suartika (Penggugat III) dulu diberikan ijin untuk membangun gubug untuk menggarap rumput laut di seberang depan SPBU agak ke timur, sepanjang 10 meter sedangkan I Made Sudiarta (Penggugat I) dulu diberikan izin untuk membangun gubuk untuk menggarap rumput laut justru lebih ke timur lagi yakni di dekat Pura Toya Mumbul sepanjang 7 meter.
Sehingga perlu ditegaskan bahwa tempat-tempat gubuk mereka itu dulu berbeda jauh dengan tempat yang diduduki para penggugat saat ini yang menimbulkan permasalahan. Karena perkembangan pariwisata, krama Banjar Adat Sental Kangin menggelar paruman untuk melahirkan keputusan melebur kawasan tersebut. “Ya, untuk dibersihkan dan difungsikan oleh Banjar Adat Sental Kangin sebagai Kawasan Akomodasi Pariwisata,” timpalnya sembari mengatakan, karena masyarakat sudah tidak lagi menggantungkan mata pencaharian dari hasil bertani rumput laut dan beralih ke sektor pariwisata.
Dengan demikian, terciptalah kesepakatan Berita Acara Paruman yang ditandatangani oleh semua warga Banjar Adat Sental Kangin termasuk juga para penggugat ikut menandatanganinya. Sekarang mereka menggugat, sehingga di kalangan warga Krama Banjar Adat Sental Kangin muncul berbagai pertanyaan-pertanyaannya. “Di antaranya alas hak apa yang mereka gunakan untuk menggugat” kisahnya dengan nada tanya.
Bukankah untuk menggugat tentunya harus ada dasar Alas Hak yang dijadikan sebagai alasan untuk mendalilkan hak terhadap obyek yang digugatnya itu ? “Menurut kami merekalah yang menyerobot lahan dan menyerobot aturan di Banjar Adat Sental Kangin: tambahnya. Pun menyerobot penguasaan fisik tersebut. Kalau bicara penguasaan fisik, mereka mendapat itu dengan cara menyerobot.
Dan terjadinya baru beberapa bulan sehingga mereka terkena sanksi kasepekang. Ketiga oknum ini mencoba menguasai fisik tanah dengan dasar keserakahan dan menggugat untuk membuat posisinya biar seolah-olah menjadi korban.“Anehnya, pengadilan mau dijadikan alat untuk menyamarkan kesalahannya yang sudah menyerobot tanah, menyerobot awig-awig dan menyerobot sepadan,” kisahnya.
Jika sampai dibiarkan, maka kejadian ini bisa saja terjadi di berbagai tempat, karena ada banyak tanah kosong di sempadan pantai dan ada banyak tanah kosong di seluruh Bali.Dikhawatirkan ada banyak orang yang akan meniru untuk mendirikan bangunan di tanah-tanah kosong itu, tanpa memperdulikan itu tanah siapa.“Lalu kalau di stop oleh yang punya lahan, nanti yang menyetop itu digugat duluan ke Pengadilan Negeri untuk menyamarkan kesalahannya,” cetusnya.
Berbicara mengenai izin dan hak membangun di atas tanah hak milik sendiri pun wajib memiliki IMB. Apalagi membangun di tanah yang bukan hak milik. Sedangkan Para Penggugat ini mau berlindung di mana? Hukum negara sudah dilanggar, yaitu membangun di atas tanah yang bukan tanah miliknya, membangun tanpa izin PBG (IMB).
Bangunan yang didirikan oleh ketiga oknum penggugat ini diduga melanggar sempadan pantai, serta menyerobot pasir pantai. Hal ini melanggar Perda Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Tata Ruang Umum Wilayah Provinsi Bali. Khususnya Pasal 139 yang menyebutkan bahwa pemanfaatan sempadan pantai jarak sekurang-kurangnya 100 meter dari titik tertinggi pasang air ke daratan.
Dalih bahwa ketiga oknum tersebut memiliki izin usaha berbasis risiko bukan berarti mereka bisa melanggar kesepakatan berita acara paruman Banjar Adat Sental Kangin.
Nyoman Samuel Kurniawan menekankan izin usaha yang diklaim oleh ketiga oknum penggugat ini, tidak dapat dijadikan dasar mendirikan bangunan usaha di tanah tersebut. Mengingat IMB merupakan produk hukum yang berisi persetujuan atau perizinan yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Setempat (Pemerintah kabupaten/kota).
Dan wajib dimiliki atau diurus pemilik bangunan yang ingin membangun, merobohkan, menambah atau mengurangi luas, ataupun merenovasi suatu bangunan. Izin usaha berbasis risiko adalah perizinan berusaha yang diberikan kepada pelaku usaha, untuk memulai dan menjalankan kegiatan usahanya yang dinilai berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha.
Dari kedua pengertian ini dapat disimpulkan bahwa IMB dan Izin Usaha Berbasis Risiko merupakan dua hal yang berbeda secara hukum. “Tentunya tidak dapat saling mengganti fungsi masing-masing sebaliknya harus saling melengkapi,” tutup Nyoman Samuel Kurniawan.