DENPASAR – Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, kembali menegaskan pentingnya menjaga akar adat dan budaya Bali. Meskipun masyarakat terus mengikuti perkembangan zaman. Pesan ini disampaikan dalam sambutan sambramawacana saat menghadiri Upacara Manusa Yadnya Mapetik, Menek Kelih, dan Metatah Massal di Banjar Tunjung Sari, Peguyangan Kangin, Denpasar Utara, Kamis (4/9/2025).
“Krama Bali boleh maju, boleh mengikuti zaman, tapi jangan sampai tercerabut dari akar adat dan budaya kita,” ujar Wagub Giri Prasta, yang juga dikenal sebagai tokoh pemimpin yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai lokal Bali.
Pemerintah Harus Hadir untuk Ringankan Beban Umat
Dalam kesempatan itu, Wagub Giri Prasta menyampaikan apresiasi kepada Krama Banjar Tunjung Sari. Atas semangat mereka dalam nangun yadnya, atau menjalankan kewajiban upacara suci. Ia menegaskan bahwa pemerintah wajib hadir untuk mendukung upacara adat dan keagamaan. Yang membutuhkan waktu, tenaga, dan dana besar.
“Itu sudah saya lakukan sejak jadi Bupati Badung, dan sekarang saya bangga karena Walikota Denpasar juga sudah menerapkannya,” tambahnya.
Sebagai bentuk dukungan, Wakil Gubernur Bali menyerahkan punia sebesar Rp50 juta kepada panitia karya dan Rp5 juta untuk Sekaa Gong Banjar Tunjung Sari. Bantuan tersebut diterima langsung oleh Ketua Panitia, Wayan Dana.
Wagub Giri Prasta Sampaikan Makna Upacara Manusa Yadnya
Wagub Giri Prasta juga menjelaskan filosofi dan makna mendalam di balik rangkaian Upacara Manusa Yadnya. Yang mencakup Mapetik, Menek Kelih, dan Metatah Massal. Ia menekankan bahwa mapetik bukan sekadar memotong rambut, tapi simbol anak telah menjadi manusia utuh.
Dalam upacara metatah, ia berpesan kepada para orang tua untuk melaksanakan atur piuning di merajan, dan menyiapkan klungah serta banten peras sebagai elemen penting dalam upacara.
“Kalau ini semua dilaksanakan, upacara akan masuk dalam kategori utamaning utama. Ini bukan soal kemewahan, tapi soal ketepatan pelaksanaan,” tegas Giri Prasta.
Pelaksanaan Tradisi Harus Disertai Pemahaman
Mantan Bupati Badung dua periode ini juga menyinggung soal kebiasaan masyarakat. Yang menjawab pertanyaan tentang makna tradisi dengan kalimat “Nak Mule Keto” (dari dulu begitu). Ia mendorong agar umat Hindu mulai memaknai swadharma dengan pendekatan Tri Samaya – masa lalu (atita), masa kini (wartamana), dan masa depan (nagata).
“Kalau yang dulu baik, kita teruskan. Yang kurang baik kita tinggalkan. Masa kini kita yang laksanakan, dan ke depan harus lebih baik,” katanya.
Upacara Massal diikuti Ratusan Peserta
Sementara itu, Ketua Panitia, Wayan Dana, menyampaikan terima kasih atas kehadiran dan dukungan Wakil Gubernur. Ia menyebutkan bahwa upacara Manusa Yadnya massal yang digelar Banjar Tunjung Sari diikuti oleh:
42 peserta Mapetik
61 peserta Menek Kelih
104 peserta Metatah
Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk gotong royong dan efisiensi biaya yang sangat membantu krama dalam melaksanakan kewajiban yadnya.