Tradisi “Ngejot” Saat Idul Fitri: Simbol Toleransi dan Persaudaraan di Bali
Pulau Bali tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata dunia, tetapi juga sebagai simbol kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Salah satu tradisi unik yang masih lestari hingga kini adalah tradisi “ngejot”. Yaitu berbagi makanan, kue, dan buah-buahan kepada tetangga lintas agama saat perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Umat Islam membagikan hidangan kepada umat Hindu sebagai bentuk rasa syukur dan persaudaraan.
Sebagai balasan, umat Hindu akan membalas tradisi ini pada saat Hari Raya Galungan, hari besar umat Hindu untuk memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (kejahatan). Tradisi saling berbagi ini menjadi simbol kuat toleransi dan keharmonisan di Bali yang terus dipertahankan hingga sekarang, baik di desa maupun di perkotaan.
Komunitas Muslim Bali yang Terintegrasi dengan Budaya Lokal Lewat Tradisi Ngejot
Sejak zaman kerajaan, komunitas Muslim sudah bermukim di berbagai wilayah di Bali, seperti Desa Pegayaman (Buleleng), Budakeling (Karangasem), Petang (Badung), Kepaon dan Serangan (Denpasar), serta Desa Loloan (Jembrana). Umat Islam di Bali hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu dan menyatu dengan sistem adat setempat.
Hal ini terlihat dari adanya lembaga adat yang serupa, serta penggunaan sistem pengairan subak oleh petani Muslim, yang merupakan warisan budaya agraris Bali. Meskipun cara bersyukur atas panen berbeda sesuai keyakinan masing-masing, nilai kerja sama dan saling menghormati tetap terjaga.
Akulturasi Budaya dalam Seni dan Arsitektur
Kehidupan harmonis umat Islam dan Hindu di Bali juga tercermin dalam seni budaya dan musik. Sebuah contoh menarik adalah kolaborasi musik Islami rudat dengan gong beleganjur, musik tradisional Bali yang biasa digunakan dalam ritual besar di Puri Pemecutan, Denpasar. Penampilan ini menjadi simbol kuat kerukunan antaragama di Bali.
Tidak hanya dalam seni musik, akulturasi juga terjadi dalam arsitektur masjid di Bali. Masjid-masjid di Bali memiliki gaya arsitektur yang khas, memadukan unsur budaya lokal Bali dengan fungsi religius Islam. Bangunan masjid di Bali umumnya tampak berbeda dari masjid di Jawa atau daerah lain di Indonesia. Tetapi tetap mempertahankan fungsinya sebagai tempat ibadah utama umat Muslim.
Persamaan Nilai Antara Islam dan Hindu di Bali
Uniknya, beberapa bentuk kesenian dan sastra Hindu di Bali juga mengandung unsur nuansa Islam, seperti yang ditemukan dalam Geguritan, yaitu pembacaan ayat-ayat suci Hindu yang mengandung nilai-nilai keislaman. Di Desa Pegayaman, nama-nama warga Muslim seperti Wayan Muhammad Saleh atau Made Jalaluddin mencerminkan perpaduan identitas budaya Bali dan Islam secara harmonis.
Menyama Braya: Kunci Kerukunan Umat Beragama di Bali
Keharmonisan kehidupan beragama di Bali tidak terlepas dari konsep “Menyama Braya”, yang berarti persaudaraan sejati. Nilai ini menjadi fondasi kuat dalam menjaga toleransi dan rasa saling menghormati antarumat beragama. Tidak hanya antara Islam dan Hindu, tetapi juga dengan umat agama lain.
Akulturasi budaya antara Islam dan Hindu di Bali menjadi bukti. Bahwa perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang untuk hidup damai dan harmonis. Dengan semangat “Menyama Braya”, masyarakat Bali telah menunjukkan kepada dunia. Bahwa kerukunan antarumat beragama bisa tumbuh subur melalui budaya, seni, dan tradisi lokal.
Rayakan Rahina Tumpek Krulut, Pemprov Bali Hadirkan Lolot dkk di Ardha Candra