INSERT BALI, Denpasar – Senja tiba. Aroma dupa membumbung tinggi. Suara-suara bersahutan menggema sepanjang malam. Di tengah momen-momen sakral ini, dua gadis belia dengan mata terpejam melenggang serempak seakan-akan dikendalikan kekuatan tak kasat mata. Kurang lebih begitulah pertunjukan Tari Sanghyang Dedari.
Menariknya, pertunjukan ini bukan untuk memuaskan penonton, melainkan demi mencari ketenangan spiritual. Lantas, mengapa ritus ini masih bertahan, dan pelajaran apa yang bisa dipetik darinya? Berikut penjabarannya!
Sejarah Tari Sanghyang Dedari
Untuk lebih mengapresiasi Sanghyang Dedari, pertama-tama mesti terlebih dulu memahami sisi mitos dan mistiknya. Tarian sakral ini konon sudah ada sejak berabad-abad lalu lantaran tuntutan zaman yang penuh prahara.
Sewaktu wabah penyakit mendera desa-desa, orang-orang berpaling kepada yang ilahi guna memohon petunjuk dan pertolongan melalui ritual. Jadi, Tari Sanghyang Dedari adalah jawaban atas huru-hara tersebut, simbol sebuah doa yang terwujud dalam bentuk gerak tubuh.
Kata “Sanghyang” sendiri merujuk pada sesuatu yang keramat. Sementara itu, “Dedari” berarti gadis-gadis suci. Itulah sebabnya Tari Sanghyang Dedari ditarikan oleh penari muda. Sebagaimana gadis-gadis belia ini masuk ke dalam alam bawah sadar, mereka bukan lagi sekadar bocah, tetapi juga penyalur kehendak ilahi.
Setiap gerakan menunjukkan relasi dengan dimensi di luar nalar manusia: gemulai, luwes, dan memancarkan aura magis. Begitu proses peralihan berakhir, pemuka agama dengan hati-hati menuntun mereka kembali ke kesadaran.
Komposisi Tari dan Rangkaian Pengiring
Di sekeliling para penari, pengiring kecak membentengi. Suara-suara itu naik turun bagaikan hendak menghipnotis pendengarnya. Paduan suara yang terdiri dari puluhan partisipan laki-laki ini menjadi jantung dari ritual tersebut.
Faktanya, kecak juga merupakan lantunan doa tersendiri. Awalnya lirih, nyaris seperti bisikan, lalu melengking hingga menyesaki angkasa dengan energi dahsyat.
Seluruh nyanyian dihitung secara cermat. Nada-nada saling tumpang tindih dan berkelindan laksana benang-benang dalam permadani sakral. Pengucapan “cak-cak-cak” yang secara berulang-ulang berlangsung dengan ritme penuh perhitungan.
Seiring waktu, ritme pun berubah, kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Pasang surut ini mengikuti gerakan para penari.
Turut memperkental suasana adalah pendar lembut lampu minyak yang bergoyang-goyang serta kepulan asap dupa. Pusarannya berkelebat seperti jejak misterius di tengah keremangan malam.
Tantangan Melestarikan yang Disakralkan
Tarian Sanghyang Dedari kini kian langka. Tak seperti tari-tarian Bali lainnya yang bertransisi menjadi pertunjukan budaya, Tari Sanghyang Dedari dengan teguh melekat pada akar spiritualnya. Hal ini, meskipun melindungi kemurniannya, menimbulkan tantangan besar bagi pelestariannya di era sekarang.
Salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya penampilan tari ini yaitu karena motif spiritualnya. Tarian ini tidak harus direncanakan atau diperagakan demi menarik perhatian wisatawan karena merupakan sebuah persembahan yang dilakukan hanya setahun sekali.
Berbagai upaya pelestarian Sanghyang Dedari bermunculan. Satu usaha nyata adalah pendirian Museum Sanghyang Dedari. Melalui artefak, rekaman visual, dan pameran pilihan, pengunjung dapat mengintip esensi dari Sanghyang Dedari.
Pada akhirnya, jelas bahwa Sanghyang Dedari jauh lebih dari sebatas ritus. Tarian ini adalah titian antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, sebuah dialog keramat yang tak lekang oleh waktu. Ini juga menjadi simbol akan kebutuhan mendasar manusia untuk terhubung dengan Sang Pencipta.
Ingin lebih menghayati pesona Bali daripada cuma belajar tentang Tari Sanghyang Dedari dari tulisan? Ikuti tur half day Nusa Penida Barat, dan kamu pun bisa menemukan bentang alam indah plus kisah-kisah inspiratif yang melekat selamanya dalam benak.