GIANYAR, InsertBali – Penjor beratribut putih dan kuning berjejer di depan rumah warga Banjar Kutuh, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali, sejak beberapa hari terakhir. Suasana desa tampak semarak, para krama—baik pria maupun wanita—sibuk menyiapkan sarana upakara di Pura Nagasari pada Kamis (16/10/2025). Mereka tengah mempersiapkan Karya Ngenteg Linggih, Mupuk Pedagingan, Mepedudusan Agung, lan Menawa Ratna di pura setempat.
Upacara suci berskala besar ini biasanya dilaksanakan setiap 30 tahun sekali. Namun, akibat keterbatasan biaya dan kesibukan krama adat, upacara baru dapat digelar kembali setelah penantian 37 tahun, sejak terakhir kali diselenggarakan pada 1988. Tak heran, antusiasme masyarakat menyambutnya begitu tinggi.
“Tujuan upacara ini untuk membangkitkan energi kesucian pura, yang nantinya memberikan vibrasi positif bagi krama adat dan lingkungan sekitar. Dampaknya akan dirasakan dalam bentuk kesejahteraan, harmonisasi alam, serta peningkatan sraddha bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa,” ujar Kelian Adat Banjar Kutuh, Drs. I Ketut Parsa, Kamis (16/10).
Persiapan sarana upakara saat ini telah mencapai sekitar 70 persen. Selain menyiapkan perlengkapan ritual, krama juga melakukan renovasi pelinggih, pembangunan tombok penyengker pura, serta wantilan dengan total dana mencapai miliaran rupiah.
“Persiapan sudah dilakukan sejak tahun 2021, diawali dengan renovasi dan pembangunan penyengker serta Pura Melanting yang menghabiskan hampir Rp1 miliar,” jelas Parsa.
Hemat Biaya, Karya Agung Pura Nagasari dikerjakan secara gotong royong
Penyempurnaan infrastruktur terus berlanjut hingga 2025. Pemerintah melalui dana desa menyalurkan sekitar Rp350 juta untuk pembangunan tombok penyengker area jaba pura, ditambah dana hibah dari Pemkab Gianyar sekitar Rp1 miliar untuk pembangunan wantilan.
“Setelah infrastruktur rampung, kami mulai merencanakan upakara per Januari 2025 dengan estimasi dana Rp1,5–2 miliar. Dana tersebut berasal dari kas banjar, pepeson wajib krama adat sebanyak 337 KK, punia masyarakat, serta sumbangan krama tamiu dan pengusaha lokal,” imbuhnya.
Untuk menekan biaya, seluruh sarana upakara di Pura Nagasari dikerjakan secara gotong royong oleh krama adat. “Semua perlengkapan dibuat langsung di pura, kini progresnya sudah lebih dari 70 persen,” tambah Parsa.
Mereka juga menyiapkan cadangan dana guna mengantisipasi lonjakan harga bahan upakara yang biasa terjadi saat musim sasih kapat dan sasih kalima. “Kami sudah perhitungkan kemungkinan kenaikan harga agar tidak mengganggu jalannya upacara,” ujarnya.
Prosesi awal telah dimulai dengan Ngadegan Bagia Pula Kerti pada Rabu (15/10), disaksikan oleh Ida Cokorda Sayan, Bendesa Adat Sayan, para kelian adat dan dinas se-Desa Sayan, serta anggota DPRD Gianyar Tjokorda Gede Asmara Putra Sukawati (Cok Anom).
Selanjutnya, pada Sabtu (18/10), akan dilaksanakan Mendak Bhatara Pengerajeg Karya di Pura Batan Pule, Desa Mas, Ubud. Puncak upacara akan berlangsung pada Rabu Umanis Julungwangi, 5 November 2025, bertepatan dengan Purnama Kelima, sekaligus hari piodalan di pura tersebut.
Selain persiapan fisik dan upakara, krama juga telah melaksanakan mendak tirta dari berbagai Pura Sad Kahyangan di Bali dan Jawa, termasuk Pura Lempuyang, Andakasa, Besakih, Batur, Uluwatu, Batukau, Puncak Mangu, hingga Pura Mandara Giri Semeru Agung di Jawa Timur.
“Karena tingkat upacara kali ini adalah utama, walau tergolong nistaning utama karena menggunakan satu kebo, maka kami mendak tirta di Sad Kahyangan sebagai bentuk penyempurnaan yadnya,” tutupnya.