GIANYAR, InserBali – Seniman asal Banjar Gelogor, Desa Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Gianyar, I Nyoman Bratayasa, kembali menorehkan capaian penting dalam perjalanan seninya. Ia tampil di panggung nasional lewat pameran tunggal bertajuk “Road to Tatah Natah” yang digelar di Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta, mulai 1 November hingga 31 Desember 2025.
Pameran ini menjadi langkah awal menuju perhelatan besar “Tatah Natah 2026” yang akan digelar di Bali tahun depan. Pembukaan pameran berlangsung eksklusif dalam format Intimate Dinner untuk tamu VVIP pada Jumat (31/10) malam, pukul 20.00–22.00 Wita.
Dalam suasana hangat dan penuh makna, para kolektor serta pecinta seni berkesempatan berdialog langsung dengan Bratayasa mengenai perjalanan kreatif dan spiritual yang menjadi napas setiap karyanya. Pameran dibuka secara resmi oleh pecinta seni Ifal Ifal Hutagalung dan turut dihadiri seorang seniman tamu asal Jepang, Hydea, yang ikut memberikan apresiasi terhadap karya-karya Bratayasa.
Dalam pameran tersebut, Bratayasa menampilkan lukisan di atas kertas dan kanvas, serta pahatan batu padas, material khas yang menjadi identitas artistiknya. Melalui “Road to Tatah Natah”, ia berusaha menghadirkan nilai-nilai spiritual dan filosofi Bali dalam medium visual yang lahir dari pengalaman batin dan kesadaran budaya.
“Setiap karya memiliki roh. Saya ingin menghadirkan semangat spiritual dan kesadaran budaya Bali di setiap guratan dan tatahannya,” ujar Bratayasa saat dihubungi, Rabu (5/11).
Lebih dari sekadar pameran, “Road to Tatah Natah” menjadi ruang dialog antara seniman dan penikmat seni, sekaligus membuka jalan menuju perayaan seni yang lebih besar di Bali tahun 2026.
Dari Ubud ke Panggung Nasional, Membawa Spirit Batu Padas dan Jiwa Bali
Sebelum tampil di Jakarta, Bratayasa baru saja menuntaskan karya monumental berupa relief batu padas sepanjang 15 meter dan tinggi 3 meter di halaman rumahnya di Banjar Gelogor, Ubud. Relief tersebut dikerjakan selama sembilan bulan menggunakan batu padas dari sisa puing bangunan yang ia kumpulkan selama lima tahun terakhir.
“Saya kumpulkan batu-batu yang tak terpakai dan saya tata ulang agar bernilai kembali,” ungkapnya. “Proses itu saya anggap sebagai penghayatan spiritual—mengukir bukan sekadar dengan tangan, tapi dengan kesabaran dan kesadaran budaya.”
Meski tanpa latar belakang pendidikan formal di bidang seni ukir, Bratayasa membuktikan bahwa naluri dan pengalaman batin mampu melahirkan karya dengan nilai estetika dan spiritual tinggi. Relief batu padasnya memuat simbol-simbol kehidupan, hubungan manusia dengan alam, serta harmoni semesta—falsafah inti kehidupan masyarakat Bali.
Baginya, halaman rumah bukan sekadar ruang fisik, melainkan ruang spiritual yang menghubungkan dirinya dengan leluhur.
“Saya ingin halaman ini jadi ruang belajar dan bertumbuh, terutama bagi anak-anak muda yang tertarik pada seni,” katanya.
Melalui perjalanan dari puing hingga pameran di ibu kota, Bratayasa menunjukkan bagaimana sesuatu yang lama dan terlupakan bisa dihidupkan kembali dengan makna baru.
“Ini bukan soal membuat karya besar, tapi bagaimana memberi napas baru pada yang lama. Batu-batu ini dulu tidak dianggap, kini mereka bicara lagi lewat ukiran,” tuturnya sambil tersenyum.
Kini, karya relief batu padas itu berdiri kokoh di halaman rumahnya—menjadi saksi ketekunan dan semangat pelestarian budaya seorang seniman Bali yang konsisten menapak jalan sunyi dari Ubud menuju panggung nasional.


















